Oleh : Achmad
Hanif, S.Ag.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa,” #QS.Al-Baqarah(2):183#
Puasa mengajarkan, bahwa kita
adalah mahluk sejarah yang berperan aktif dalam pembentukan sejarah kehidupan
manusia. Manusia bukanlah sosok yang tiba-tiba datang dari langit yang kemudian
datang ke bumi atau sosok yang datang dari suatu tempat yang tidak diketahui
latar belakangnya sehingga kita tak perlu peduli tentang apa yang akan
diperbuatnya dimasa mendatang, dan bukan pula sosok yang kemudian tanpa jati
diri dan dicitrakan dengan mengidentikkan umat Islam adalah teroris sebagaimana
yang dituduhkan saat ini. Semua tuduhan negatif itu mungkin bisa terjadi kalau
umat Islam itu tidak memiliki latar belakang sejarah yang jelas. Umat Islam
adalah ummat yang memiliki jati diri dan sejarah yang jelas. Makanya seseorang
itu tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan Islam seandainya prilakunya
sangat jauh (tidak sesuai) dengan prilaku standar sejarah umat Islam dimasa
lalu.
Dalam QS.Al-Baqarah ayat
183-184 Allah SWT berfirman bahwa penerapan kewajiban adanya puasa di bulan
Ramadhan ini adalah kewajiban yang telah terjadi sebelum anda. Anda(kum)
bisa bermakna dua, pertama anda bermakna masyarakat Rasulullah SAW yang
dahulu mendapatkan wahyu Allah SWT saat itu, dan karenanya bermakna umat-umat
beragama sebelum datangnya Islam, ada agama Yahudi, Nasrani, (Yahudi dan
Nasrani yang benar) dan mengenal pensyariatan puasa, meskipun bentuknya berbeda
dengan pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan. Tapi secara prinsip syariat puasa
telah diperintahkan oleh Allah SWT. Ini juga mengkaitkan bahwa sesungguhnya
agama Islam bukanlah agama yang ingin tampil asal beda, tapi agama Islam adalah
agama yang siap melanjutkan hal-hal yang positif pada ajaran-ajaran agama
Samawi yang sebelumnya. Karenanya Islam juga melanjutkan agenda Allah yang
besar seperti prinsip tauhid (keesaan Allah). Karenanya Islam juga mengakui
ajaran kenabian seperti dalam ajaran agama samawi lainnya. Islam juga mengakui
adanya ajaran kitab suci, Islam juga mengajarkan tentang pentingnya ahlaq, dan lain-lain.
Yang jelas Islam ini bukanlah
agama jadi-jadian yang tidak jelas jati diri dan latar belakang sejarahnya atau
agama asal beda. Tapi Islam adalah agama yang melanjutkan ajaran-ajaran
positif yang telah dibawa oleh agama samawi sebelum Islam, yang termasuk
didalamnya adalah ibadah saum di bulan Ramadhan. Jadi jika minqoblikum disini
diartikan sebagai umat nabi Muhammad, maka ummat nabi Muhammad (umat Islam) ini
adalah yang melanjutkan peran sejarah yang dahulu pernah dilakukan oleh umat
sebelum Islam dengan adanya perbaikan karena sudah adanya perubahan-perubahan
dari agam tauhid yang dahulu dibawa oleh nabi Ibrahim AS, Musa AS dan Isa AS.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa nabi Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi, Nasrani
bukan pula orang musyrik tapi dia adalah seorang muslim yang hanif (lurus).
Begitu juga dengan nabi Musa AS
dan nabi Isa AS.
Minkoblikum juga bisa
berarti kita sekarang ini, saya dan anda semuanya. Kita telah diwajibkan Allah
berpuasa sebagaimana generasi-generasi sebelum kita. Ayah kita, kakek kita,
buyut kita dan seterusnya. Maknanya adalah bahwa dinamika tradisi berpuasa
melanjutkan peran sejarah itu telah dilakukan oleh merek-mereka yang hidup
sebelum kita sampai kepada nabi Muhammad SAW. Apakah yang mereka lakukan? Dalam
konteks perjalanan sejarah mereka tidak pernah menjadikan puasa ini sebagai
bulan untuk bermalas-malasan. Sebab sejarah tidak bisa dibuat dengan bermalas-malasan.
Kalaupun ada adalah sejarah kaum pemalas. Tidak ada penemuan-penemuan, produk-produk,
bisnis unggul yang muncul dari para pemalas. Kita semua akan sukses bisnis,
sukses kerja karena menghargai waktu, menghargai profesionalitas, menghargai
jati diri, bekerja secara efektif dan efesien dan memahami bahwa kita bisa menyumbangkan
(menghasilkan) sesuatu. Itulah karakter yang dilakukan oleh orang-orang
berpuasa dan bias membentuk sejarah.
Kemalasan bukanlah karakter
generasi Rasulullah dan para sahabat yang telah berhasil menoreh sejarah gilang-gemilang.
Puasa Rasulullah dan para sahabat adalah puasa yang senantiasa diisi oleh
pelaksanaan amal soleh berlipat ganda. Rasulullah dikenal sebagai tokoh serba
positif, simpatik, proaktif kepada hal-hal yang membawa kepada kebaikan dan
berusaha kuat menghalau segala kenegatifan. Hal ini bisa terlihat dari
kesigapan Rasulullah dalam menghadapi rongrongan kafir Quraisy yang terkenal
dengan perang Badar.
Dalam perang Badr ini
terdapat dua peristiwa penting, pertama, terjadinya Al-furqon
yakni membedakan mana orang yang komitmen dengan kebenaran dan mana orang masih
komitmen dengan kedzaliman. Dalam jihad di Badr terlihat jelas mana orang
komitmen kepada Islam dan mana orang memusuhi Islam termasuk kaum munafik yang
menjadi musuh dalam selimut. Yang terpenting dari Peristiwa Badr ini
memunculkan sebuah ungkapan dalam ilmu hadist masih dipertanyakan keabsahannya,
sekalipun dalam tingkat makna tidak salah. Kita baru saja pulang dari jihad
kecil (perang Badr) menuju jihad yang paling besar yakni jihad melawan
hawa nafsu. Tidak mungkin ungkapan ini muncul dari para pemalas, karena
pemalas mendewakan hawa nafsunya. Puasa bukanlah hanya sekedar
memindahkan waktu makan, atau kegitan rutinitas tahunan, tapi puasa ini diharapkan
bisa memunculkan kesadaran jati diri bahwa masing-masing kita bisa membuat
sejarah baru.
Ketika seseorang telah
benar-benar mampu melawan hawa nafsunya maka ia akan mampu meninggalkan
kemalasan, dan menghilangkan sifat rakus dalam dirinya dan mampu meninggalkan
sifat korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat negeri ini semakin carut-marut.
Maka ketika semua sifat negatif bisa dihilangkan dengan mengendalikan hawa
nafsunya maka pada hakekatnya dia sedang membangun fondasi kokoh untuk membuat babak
sejarah baru peradaban manusia. Ketika seseorang sedang melakukan puasa di
bulan Ramadhan ini berarti dia sedang melakukan jihad besar yakni sedang
melawan hawa nafsunya. Jangan sampai kata jihad ini diidentikkan dengan sesuatu
yang menyeramkan saja. Yang berkembang sekarang seolah-olah jihad itu identik
dengan pedang terhunus menyeramkan. Kita sebagai mahluk sejarah dimulai oleh
ucapan Rasulullah dengan ungkapan kita sesungguhnya sedang melakukan jihad
akbar yakni memerangi hawa nafsu. Orang berpuasa pada hakekatnya sedang
menyambungkan hubungan dengan dzat Yang Maha Agung, Maha Kaya, Maha Sempurna,
dan begitu juga ketika seseorang sedang mengumbar hawa nafsunya pada hakekatnya
dia sedang menyambungkan hubungan dengan Syaithan, serba rendah, lemah dan hina
dina. Inilah dua kondisi hubungan yang kontradiktif dan membawa kepada dua
konsekuwensi berbeda. Orang berhubungan dengan yang baik dia akan kecipratan
kebaikan dan orang yang berhubungan dengan orang jelek dia juga akan kecipratan
kejelekannya. Bila jihad besar melawan hawa nafsu ini bisa dilakukan maka Insya
Allah akan terbentuklah sejarah peradaban baru (masyarakat madani) yang
diidam-idamkan.
Kedua, kesadaran
untuk membuat sejarah peradaban baru ini juga akan muncul selain dengan jihadun
nafs adalah melalui seperti dalam teologi tugas kemanusiaan. menyimpulkan bahwa
sesungguhnya tugas utama manusia itu ada tiga, pertama, merealisasikan
ubudiyah kepada Allah SWT sehingga hubungan kita sangat dekat dan menjauhi dari
godaan syaithan, kedua, memakmurkan kehidupan (imaroh), ketiga, memunculkan
regenerasi bagi umat yang baru (khilafah fil ardi). Pemahaman sejarah seperti
ini akan membawa kita pada kesadaran bahwa apa yang kita lakukan saat ini
adalah akan sangat bermanfaat bagi generasi mendatang. Kalau dahulu Rasulullah
SAW dengan aktifitas berislamnya telah mampu memunculkan sebuah karsa dan karya
luar biasa hebat, ketika beliau telah mampu membebaskan Ka’bah dari belenggu
dan lingkaran berhala yang sangat banyak dan terjadi pada bulan Ramadhan pula,
sehingga saat kita semua shalat menghadap kiblat/ka’bah telah terbebas dari
patung itu, sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita bahwa
prilaku pada suatu bangsa(masa) akan berdampak kepada generasi berikutnya. Kita
bisa membayangkan kalau Rasul gagal membebaskan Ka’bah dari berhala-berhala
itu, bagaimana kita bisa menimbulkan ketauhidan yang benar kalau shalat kita
menghadap kepada kiblat dipenuhi kemusrikan. Setelah berhasil membersihkan ka’bah
dari berhala, Rasul kemudian tidak merubahnya dari bentuk yang berkaitan dengan
kehidupan sosial pada masa itu, kemudian ia berkata kepada Aisyah : Kalaulah
bangsamu bukan bangsa yang terlepas dari hubungan kejahiliyahan maka Ka’bah ini
pasti akan aku rubah secara total dan akan aku kembalikan kepada aslinya
seperti saat pertama dibangun oleh nabi Ibrahim
AS. Hal tersebut dilakukan oleh
Rasulullah SAW karena mempertimbangkan sosiologi masyarakat Mekkah saat itu.
Karenanya dalam upaya memunculkan sejarah baru memahami sosiologi masyarakat
kita adalah merupakan sebuah hal yang niscaya. Kita tidak bisa membayangkan apabila
kita berusaha memunculkan sejarah baru dalam kehidupan ini, ingin memakmurkan
dunia ini, kemudian kita melepaskan diri dari faktor social kita, itu merupakan
hal yang tidak mungkin.
Upaya kita untuk menyadari bahwa
kita punya tugas sejarah bisa dilakukan melalui peran individual kita dengan
memunculkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan, dan bermanfaat bagi
generasi mendatang. Dan itu semua adalah faktor social. Kita khawatir di era
reformasi ini, yang sebagian pejabatnya mengatakan tak usah pusing-pusing lah
tambah utang saja dan ngutang terus, kan
yang bayar nanti bukan kita tapi adalah generasi mendatang. Itulah pikiran
destruktif yang bisa membebani dan menghancurkan generasi mendatang. Seharusnya
negara kaya raya ini harus makmur bukan malahan seperti tikus mati di lumbung padi.
Seharusnya kita berpikir seperti negara Sudan , meskipun negaranya
diembargo, tapi dia mampu bangkit dan hidup mandiri dan rakyatnya lebih
sejahtera. Puasa adalah traning langsung dari Allah SWT untuk mempersiapkan
orang-orang yang akan membuat sejarah baru kehidupan. Berulang kali kita
melakukan saum Ramadhan, maka mudah-mudahan pada tahun ini kita bisa
memaksimalkan peran sejarah kita.
---oooOooo---
0 komentar:
Posting Komentar